Selasa, 02 November 2010

http://ecx.images-amazon.com/images/I/41lqSvf1DfL._SL125_.jpg
http://ecx.images-amazon.com/images/I/41Gbxv16x0L._SL125_.jpg
http://ecx.images-amazon.com/images/I/41xmiCTC7%2BL._SL125_.jpg
http://ecx.images-amazon.com/images/I/41X3uqET6iL._SL125_.jpg
http://astore.amazon.com/livemustplayb-20/detail/B003LPUYGQhttp://ecx.images-amazon.com/images/I/41jlgUy1ENL._SL125_.jpg

Selasa, 12 Oktober 2010

Belajar menyelam kilat

Kursus kilat menyelam
Sejak Juni 1995 sampai awal November 1996, sekitar 150 penyelam relawan dari 19 negara berpartisipasi dalam Operasi Wallacea. Kebanyakan dari Eropa, lalu Selandia Baru, Australia, AS, Kanada, dan Asia (Malaysia, Singapura). Dari Indonesia sedikit yang berminat menjadi penyelam relawan. Sejauh ini baru tercatat tiga orang.
Hoga, pulau kecil dan indah dengan separuh lebih pantainya berpasir putih, menjadi base camp Operasi Wallacea. Letaknya jauh dari ibu kota Sulawesi Tenggara, Kendari, + 15 jam ditempuh Motor Vessel (MV) Empress, kapal motor pendukung Operasi Wallacea berkecepatan 9 knot. Selama survai para ilmuwan bidang kelautan dan penyelam tinggal di sebuah bangunan panggung berkapasitas 20-an orang.
Ruang terbuka di lantai atas rumah panggung yang dilengkapi tiga buah kursi kayu panjang dan meja panjang dipakai untuk tempat “kursus kilat”. Belasan penyelam asing dengan serius mendengarkan pengarahan dan penjelasan dari para ilmuwan bidang kelautan dari Inggris, Jerman, dan Australia, dibantu ahli kelautan dari LIPI. Briefing dan training diberikan selama empat hari, meliputi pengenalan atau indentifikasi jenis biota laut (karang, spesies ikan, tumbuhan dasar laut, dsb.), juga tentang metode survai. Adakalanya disertai dengan presentasi visual lewat gambar slide. Juga diajari menaksir ukuran ikan di dalam air. Maklum mereka umumnya bukan berlatar belakang ilmu kelautan.
Meski sudah mahir menyelam, para relawan juga memperoleh latihan menyelam untuk disetarakan dengan standar PADI (Profesional Association Diving Instructors) di bawah bimbingan instruktur selam yang rata-rata berpredikat master dengan ribuan jam selam.
Dengan bekal kursus kilat itu, para penyelam dianggap siap mencebur ke laut untuk melakukan pendataan di dasar laut, meski masih didampingi satu dua ahli kelautan. Mereka dibagi menjadi dua kelompok, yang secara bergantian menyelam di perairan sekitar P. Hoga dan di perairan terpecil tapi masih di kawasan Kepulauan Wakatobi.
Kegiatan penyelaman untuk survai dilakukan dua kali sehari, pukul 10.00 dan 14.00 Wita. Adakalanya juga menyelam pada malam hari di sekitar P. Hoga. Pada giliran menyelam di perairan sekitar pulau paling ujung selatan (+ 8 jam naik KM Empress dari Hoga), misal P. Cawo Cawo dan P. Moromaho, mereka mesti tinggal di atas KM Empress selama tiga hari tiga malam. Untuk mendukung survai terumbu karang yang letaknya terpencil, kapal motor berukuran 75 kaki ini dilengkapi alat penentu posisi yang mengandalkan satelit (GSP – Global Positioning System).
Tiap kali terjun ke dasar laut, selain mengenakan perlengkapan selam standar mereka dibekali peralatan untuk survai, seperti pita, “papan tulis” plastik berukuran 20 x 30 cm untuk mencatat data.
Penyelaman untuk pengumpulan data biota laut dilakukan pada kedalaman 5 m, 12 m, dan 18 m. Setiap kali survai dibutuhkan waktu sekitar 50 menit. Masing-masing pasangan penyelam langsung terjun pada kedalaman 18 m dan mulai melakukan pendataan selama 10 menit. Kemudian mereka bergerak ke kedalaman 12 m untuk mendata selama 2 x 10 menit, masing-masing mencakup bidang pengamatan sekitar 2 m ke atas dan 2 m ke bawah. Dua kali 10 menit terakhir, mereka melakukan pendataan pada kedalaman 5 m, sebelum kemudian muncul ke permukaan laut. Selain terumbu karang, jenis dan ukuran ikan, serta biota laut lain, mereka juga mengukur suhu dan salinitas air laut.